Berikut ini merupakan beberapa suku terasing dan terpencil yang masih mengikuti kepercayaan nenek moyang nya yang ada di Indonesia.
1. SUKU TOGUTIL-HALMAHERA
Suku Togutil (atau dikenal juga sebagai Suku Tobelo Dalam) adalah kelompok/komunitas etnis yang hidup di hutan-hutan secara nomaden di sekitar hutan Totodoku, Tukur-Tukur, Lolobata, Kobekulo dan Buli yang termasuk dalam Taman Nasional Aketajawe-Lolobata, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara. Yang perlu diingat, Orang Togutil sendiri tak ingin disebut "Togutil" karena Togutil bermakna konotatif yang artinya "terbelakang". Kehidupan mereka masih sangat tergantung pada keberadaan hutan-hutan asli. Mereka bermukim secara berkelompok di sekitar sungai. Komunitas Togutil yang bermukim di sekitar Sungai Dodaga sekitar 42 rumah tangga. Rumah-rumah mereka terbuat dari kayu, bambu dan beratap daun palem sejenis Livistonia sp. Umumnya rumah mereka tidak berdinding dan berlantai papan panggung. Suku Togutil yang dikategorikan suku terasing tinggal di pedalaman Halmahera bagian utara dan tengah, menggunakan bahasa Tobelo sama dengan bahasa yang dipergunakan penduduk pesisir, orang Tobelo. Orang Togutil penghuni hutan yang dikategorikan sebagai masyarakat terasing, sementara orang Tobelo penghuni pesisir yang relatif maju. Selain itu fisik orang Togutil, khususnya roman muka dan warna kulit, menunjukkan ciri-ciri Melayu yang lebih kuat daripada orang Tobelo. Ada cerita, orang Togutil itu sebenarnya penduduk pesisir yang lari ke hutan karena menghindari pajak. Pada 1915 Pemerintah Belanda memang pernah mengupayakan untuk memukimkan mereka di Desa Kusuri dan Tobelamo. Karena tidak mau membayar pajak, mereka kembali masuk hutan dan upaya itu mengalami kegagalan. Dari sini lah rupanya beredar cerita semacam itu. Namun cerita ini rupanya tidak benar
2. SUKU POLAHI GORONTALO
Polahi adalah julukan untuk suku terasing yang hidup di hutan pedalaman Gorontalo. Menurut cerita yang beredar di masyarakat, polahi adalah masyarakat pelarian zaman dahulu yang melakukan eksodus ke hutan karena takut dan tidak mau dijajah oleh Belanda sehingga menjadikan mereka sebagai suku terasing sampai dengan saat ini. Mereka hidup di pedalaman hutan daerah Boliyohuto, Paguyaman dan Suwawa, Provinsi Gorontalo. Konon orang Polahi adalah pelarian pada zaman Belanda, yang katanya untuk menghindari pembayaran pajak. Jumlah mereka seluruhnya sekitar 500 orang, kira-kira 200 orang di Kecamatan Paguyaman dan 300 orang di Kecamatan Suwawa. Mereka tinggal di hutan dalam kelompok-kelompok kecil. Departemen Sosial di tingkat Kabupaten Gorontalo mengidentifikasi masyarakat Polahi dengan Kelompok 9, Kelompok 18, Kelompok 21, Kelompok 70, dan sebagainya berdasarkan jumlah anggota kelompok dalam satu "kampung".Literatur mengenai masyarakat ini tak ada. Bahasanya adalah dialek Gorontalo, dan menganut agama tradisional. Mereka hidup dari bercocok tanam alakadarnya dan berburu babi hutan, rusa, serta ular sanca. Belum mengenal pakaian seperti umumnya orang Indonesia, hanya memakai penutup syahwat dari daun palma dan kulit kayu. Rumah mereka sederhana, tak berdinding, dapur dibuat di tengah, juga berfungsi untuk penghangat. Mereka tak mengenal sekolah dan fasilitas kesehatan modern. Untuk mencapai Kelompok 9, diperlukan jalan kaki naik gunung sekitar tujuh jam.
3. SUKU BAUZI ATAU BAUDI -PAPUA
Suku Bauzi atau orang Baudi merupakan satu dari sekitar 260-an suku asli yang kini mendiami Tanah Papua. Oleh lembaga misi dan bahasa Amerika Serikat bernama Summer Institute of Linguistics (SIL), suku ini dimasukan dalam daftar 14 suku paling terasing. Badan Pusat Statistik (BPS) Papua pun tak ketinggalan memasukan suku Bauzi kedalam daftar 20-an suku terasing yang telah teridentifikasi. Bagaimana tidak, luasnya hutan belantara, pegunungan, lembah, rawa hingga sungai-sungai besar yang berkelok-kelok di sekitar kawasan Mamberamo telah membuat suku ini nyaris tak bersentuhan langsung dengan peradaban modern. Kehidupan keseharian suku ini masih dijalani secara tradisonal.Menurut sejarah penyebarannya, suku Bauzi berasal dari daerah Waropen utara. Tapi dalam kurun waktu yang lama menyebar ke selatan danau Bira, Noiadi dan tenggara Neao, dua daerah yang terletak di perbukitan Van Rees Mamberamo. Panjang wilayah ini kurang lebih 80 kilometer. Suku Bauzi bisa menyebar karena memiliki kemampuan berpindah menggunakan perahu menyusuri sungai dan berjalan kaki. Jumlah penduduknya hanya beberapa ribuan jiwa. SIL di tahun 1991 pernah merilis data yang memperlihatkan jumlah orang Bauzi sekitar 1.500 jiwa. Mereka menyebar di bagian utara dan tengah wilayah Mamberamo. Kini jumlah jiwa suku Bauzi bisa dipastikan telah bertambah tiap tahun, walaupun belum ada data resmi mengenai perkembangan mereka.
4. SUKU KOROWAI
Suku Korowai adalah suku yang baru ditemukan keberadaann 30 tahun yang lalu. di pedalaman Papua, Indonesia dan berpopulasi sekitar 3000 orang. Suku terasing ini hidup di rumah yang dibangun di atas pohon yang disebut Rumah Tinggi. Beberapa rumah mereka bahkan bisa mencapai ketinggian sampai 50 meter dari permukaan tanah. Suku Korowai adalah salah satu suku di daratan Papua yang tidak menggunakan koteka. Sampai tahun 1970, mereka tidak mengetahui keberadaan setiap orang selain kelompok mereka.Bahasa mereka termasuk dalam keluarga Awyu-Dumut (Papua tenggara) dan merupakan bagian dari filum Trans-Nugini. Sebuah tata bahasa dan kamus telah diproduksi oleh ahli bahasa misionaris Belanda.Mayoritas klan Korowai tinggal di rumah pohon di wilayah terisolasi mereka. Sejak tahun 1980 sebagian telah pindah ke desa-desa yang baru dibuka dari Yaniruma di tepi Sungai Becking (area Kombai-Korowai), Mu, dan Basman (daerah Korowai-Citak). Pada tahun 1987, desa dibuka di Manggél, di Yafufla (1988), Mabül di tepi Sungai Eilanden (1989), dan Khaiflambolüp (1998).Tingkat absensi desa masih tinggi, karena relatif panjang jarak antara permukiman dan sumber daya makanan (sagu).
5. SUKU ANAK DALAM, JAMBI
Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang. Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang m lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal. Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30),
Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan. Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme kepercayaan akan setan - setan dan dewa - dewa, adat kelahiran, perkawinan, pelaksanaan kematian, pantangan atau tabu, hukum adat, kesenian dan bahasa yang memiliki cirri khas tersendiri dibandingkan dengan penduduk lainnya di daerah Jambi tersebut., tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku kubu yang pindah ke agama Islam.Mereka masih menerapakan budaya berburu, sistem barter, dan juga bercocok tanam untuk kelangsungan hidup mereka dan mereka termasuk suku yang menganut sistem hidup semi nomaden karena kebiasaan berpindah - pindah yang mereka lakukan.
No comments:
Post a Comment