Suku Bauzi memiliki beberapa sebutan, yaitu Bazi, Baudi, Bauji dan Bauri. Suku Bauzi ini merupakan suku “terasing” di pedalaman tanah Papua. Mereka masih hidup sebagai masyarakat peramu yang bisa dikatakan tergolong suku paling terasing. Menurut sumber data Summer Institute of Linguistics (SIL) yaitu Lembaga Misi dan bahasa dari Amerika Serikat memasukkan suku Bauzi ke dalam daftar 14 suku paling terasing, begitu juga menurut sumber lokal Badan Pusat Statistik (BPS) Papua, mendaftarkan suku Bauzi ke dalam 20 suku terasing. Selain itu kedatangan mereka juga salah satunya untuk meneliti bahasa dan dialek suku Bauzi selama bertahun-tahun. Upaya ini berhasil dengan penerbitan berbagai literature tentang suku ini, termasuk penerjemahan Alkitab versi Perjanjian Baru ke dalam bahasa Bauzi oleh Dave dan Joice Briley. Dari catatan SIL, bahasa Bauzi memiliki sekitar 1350 kosakata yang terbagi dalam 3 dialek utama, yakni dialek Gesda Dae, Neao dan Aumenefa.
Asal muasal suku Bauzi diperkirakan dari daerah Waropen Utara, sedangkan penyebarannya meliputi ke selatan danau Bira, Noiadi dan Neao tenggara, dua daerah yang terletak di perbukitan Van Rees Mamberamo.
Kehidupan suku Bauzi masih tradisional, hal itu terlihat dari mata penceharian yang dilakukan mereka yaitu meramu, begitu juga dengan alat yang digunakan masih menggunakan parang, bambu untuk meramu. Mereka sama sekali belum mengenal bercocok tanam. Tapi hal itu bebeda setelah kedatangan misionaris Kristen dari Eropa, suku ini akhirnya bisa mengenal cara-cara berkebun. Mereka membangun rumah-rumah gubuk berdinding kulit kayu dan beratap daun rumbia (daun sagu) atau kulit pohon. Kehidupan meraka pun sedikit berubah. Akhirnya 65% penduduk suku Bauzi memeluk agama Kristen. Sejak saat inu mereka mulai mengenal Injil
Jauh sebelum itu, dalam kehidupan yang semi nomamden, umumnya mereka membuat Bifak yang berda dipinggir sungai atau hutan. Bifak digunakan bukan hanya sebagai tempat tinggal saja, melainkan untuk memudahkan dalam berbagai aktivitas seperti berburu dan meramu.
Pada masyarakat suku Bauzi, cara berpakaian antara laki-laki dan perempuan bisa dibedakan. Pada umumnya laki-laki suku Bauzi masih mengenakan cawat (sejenis penutup sekitar alat kelamin, yang berupa selembar daun atau kulit pohon yang telah dikeringkan lalu diikat dengan tali pada ujung alat kelamin). Mereka juga memasang hiasan berupa tulang pada lubang hidung. Sedangkan perempuan mengenakan selembar daun atau kulit kayu yang diikat dengan tali di pinggang untuk menutupi auratnya. Tapi tidak memakai penutup dada.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, suku Bauzi memaanfaatkan sagu sebagai makanan poko mereka. Kadang-ladang mereka menanam umbi-umbian. Anehnya suku Bauzi tidak suka makan sayur-sayuran, maka tidak heran balita, ibu-ibu hamil sering terkena gejala anemia dan kekurangan gizi. Perkembangan suku Bauzi kini semakin berkembang, terlepas kedatangan para peneliti dari eropa dan Amerika. Mereka juga memberikan beberapa ilmu-ilmu yang diajarkan kepada suku bauzi semisal, cara bercocok tanam, menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Bauzi, membangun gereja dn lain-lain. Sampai sekarang banyak kunjungan dari provinsi bahkan penelti dari luar. Tarakhir pada tahun 2010 seteleh penemuan kampung Fona sebagai perluasan suku Bauzi pada tahun 80an. Hingga sekarang di kampong Fona terdapat landasan sebagai akses hubungan udara
No comments:
Post a Comment