KepercayaanTo Lantang
lahir dalam sebuah tatanan yang telah terbentuk secara apik dalam
masyarakat Bugis, secara tersirat terdapat dalam sebuah tulisan yang
sering disebut sebagai La Galigo. Epos ini mengisahkan bahwa dewa utama
yang disembah oleh manusia (sebelum masuknya islam) adalah Patotoqe atau
Sang Penentu Nasib yang bermukim di istana Boting Langiq atau Kerajaan
Langit. Patotoqe mengutus anaknya ke bumi yang bernama Togeq Langiq atau
yang disebut sebagai Batara Guru. Kemudian Batara Guru menikah dengan
sepupunya bernama We Nyiliq Timo dari Kerajaan Bawah Laut. Inilah yang
merupakan cikal bakal dari raja-raja di bumi. Dewa-dewa itulah yang
disembah dalam kepercayaan lama masyarakat bugis.
Sekelompok minoritas Bugis, yang
sebagian besar menetap di Desa Buloe, Kabupaten Wajo, dan Amparita
Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) adalah
penganut To Lotang yang masih konsisten mempertahankan agama leluhur.
Pada awalnya, nenek monyang To Lotang
berasal dari Tanah Wajo. Ketika Islam masuk di Wajo dan diterima sebagai
agama Kerajaan, semua masyarakat memeluk Islam kecuali penduduk Desa
Wani yang menolak islam. Raja pun mengusir sebagian penduduk Desa Wani
yang lalu menetap di Desa Buloe, Kabupaten Wajo, dan sebagian lainnya
mengungsi ke Desa Amparita, Kabupaten Sidenrang Rappang (Sidrap).
Penganut To Lotang memercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa yang mereka sebut "Dewata Seuae". Menurut mereka, kehidupan manusia di dunia ini adalah kehidupan periode kedua. Periode pertama yakni periode zaman Sewerigading dan pengikutnya. Kitab suci mereka adalah La Galigo dan nabi mereka adalah Sawerigading. Kitab suci La Galigo dan nabi Sawerigading itulah kepercayaan klasik yang dijaga hingga kini oleh masyarakat To Lotang.
Penganut To Lotang memercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa yang mereka sebut "Dewata Seuae". Menurut mereka, kehidupan manusia di dunia ini adalah kehidupan periode kedua. Periode pertama yakni periode zaman Sewerigading dan pengikutnya. Kitab suci mereka adalah La Galigo dan nabi mereka adalah Sawerigading. Kitab suci La Galigo dan nabi Sawerigading itulah kepercayaan klasik yang dijaga hingga kini oleh masyarakat To Lotang.
Seperti dalam La Galigo, pemimpin agama
tertinggi disebut uwaq. Kepadanyalah segala persembahan dan doa
disampaikan. Kemudian Uwaq-lah yang menyampaikan permintaan-permintaan
kepada sang dewata. Di bawah Uwaq terdapat uwaq-uwaq lain, yakni uwaq
pendamping dari pemimpin uwaq. Uwaq-uwaq pendamping inilah yang membantu
pemimpin uwaq atau ketua uwaq dalam menjalankan tugasnya sehari-hari.
Uwaq-uwaq pendamping ini berjumlah 7 orang.
Penganut To Lotang mengakui adanya Mola Lelang (Menelusuri Jalan) yang berarti kewajiban yang harus dijalankan oleh penganutnya sebagai pengabdian kepada Sang Dewata Seuae. Kewajiban tersebut ada 3 macam yakni :
Penganut To Lotang mengakui adanya Mola Lelang (Menelusuri Jalan) yang berarti kewajiban yang harus dijalankan oleh penganutnya sebagai pengabdian kepada Sang Dewata Seuae. Kewajiban tersebut ada 3 macam yakni :
- mappaenre Inanre (membawa sesembahan nasi);
- tudang sipulung (duduk berkumpul);
- sipulung (berkumpul),
Kegiatan-kegiatan itu dipimpin oleh uwaq dan dibantu oleh uwaq-uwaq pendampingnya.
Ada dua aliran dalam agama To Lotang: To Lotang To Wani dan To Lotang To Benteng. Penganut To Lotang To Wani melaksanakan agama leluhur mereka secara murni, sedangkan penganut To Lotang To Benteng mengakui bahwa mereka beragama Islam tetapi sehari-harinya masih melaksanakan ajaran To Lotang. Ajaran Islam yang laksanakan hanya sebatas acara perkawinan dan acara kematian.
Ada dua aliran dalam agama To Lotang: To Lotang To Wani dan To Lotang To Benteng. Penganut To Lotang To Wani melaksanakan agama leluhur mereka secara murni, sedangkan penganut To Lotang To Benteng mengakui bahwa mereka beragama Islam tetapi sehari-harinya masih melaksanakan ajaran To Lotang. Ajaran Islam yang laksanakan hanya sebatas acara perkawinan dan acara kematian.
Berikut pemaparan Kepercayaan dari dua Aliran To Lotang.
To Lotang To Wani
- Mengaku tidak lagi mengikuti Sawerigading tetapi hanya mengikuti ajaran La Pannaungi.
- Taggilinna Sinapatie artinya sebagai perubahan situasi dunia yang dihuni oleh manusia baru setelah musnah.
- Ada periode Appengenna To Wani, tidak ada Sabuqna.
- Perkawinan menurut keyakinan adat sendiri.
- Penyelenggaraan mayat dengan cara sendiri.
- Pusat ritus Sipulung di Perriq Nyameng.
- Tempat kegiatan persembahan adalah kuburan.
- Tidak mengakui kalau mereka Islam.
To Lotang To Benteng
- Mengaku mengikuti ajaran Sawerigading.
- Taggilinna Sinapatie, diartikannya sebagai perjalanan Sawerigading ke langit ke 7 susun dan bumi 7 lapis.
- Tidak adanya Appengenna To Wani tetapi mengakui Sabuqna yang menggambarkan Sawerigading pulang ke tanah 7 lapis untuk memegang jabatan baru.
- Acara perkawinan berdasarkan Islam.
- penyelenggaraan mayat secara Islam.
- Pusat kegiatan di sumur kecuali kuburan Uwattaq Matanre Batunna.
- Secara formal mengaku Islam
Sebuah kepercayaan yang telah mengakar
dalam masyarakat membentuk sebuah keniscayaan yang amat luhur sehingga
menjadi cakupan dalam tatanan sistem yang melahirkan budaya. Agama To
Lontang secara kasat mata mungkin kita bisa samakan dengan agama atau
kepercayaan lainnya yang berasal dari kearifan bangsa ini. Namun
karakteristik dari masing-masing kepercayaan atau agama tersebut amatlah
berbeda, baik dalam segi isi maupun kandungannya, sehingga corak dari
masyarakat pendukungnya pun dapat kita lihat mempunyai perbedaan yang
mendasar.
No comments:
Post a Comment