Masjid Ampel Surabaya Jejak Perjalanan Spiritual Sunan Ampel


Keberadaan Masjid Ampel Surabaya sebagai salah satu kawasan wisata religius sudah tak terbantah lagi. Pamor masjid yang dibangun pada tahun 1421 M ini, mampu mengundang ribuan pengunjung dari dalam dan luar kota Surabaya. Tak jarang, pada momen-momen khusus, ada pengunjung dari luar negeri yang datang untuk sekedar jalan-jalan di Pasar Ampel, atau ikut sholat, iktikaf, dan berziarah ke makam Sunan Ampel yang terletak satu kompleks dengan tempat ibadah tersebut.

Tiap hari, tak kurang dari 500 hingga 2 ribu orang datang berkunjung. Puncak keramaian terjadi pada saat haul Sunan Ampel, jumlah pengunjung bisa mencapai 10 ribu orang. Jumlah yang sama juga terjadi pada bulan Ramadhan. Di malam ke-21 Ramadhan, angka ini malah berkembang hingga dua kali lipat. Akibatnya, banyak pengunjung terpaksa menunggu di luar sampai ada ruang kosong di dalam masjid dan area makam. Padahal kawasan ini keseluruhan memiliki luas sekitar 4 hektar.

Menurut Kitab Pengging Teracah, setelah selesai mendatangi undangan Raja Brawijaya, penguasa Mojopahit, Sunan Ampel mendapat ganjaran Ampilan tanah untuk menyebarkan agama Islam di sisi utara tanah Jawa Timur.

Perjalanan Sunan Ampel yang bernama asli Raden Achmad Rahmatullah ini dibarengi beberapa pengikut, diantaranya Ki Wirosaroyo. Wirosaroyo sebelumnya beragama Hindu. Setelah masuk Islam, ia menyatakan ingin ikut perjalanan Sunan Ampel ke Surabaya. Kebetulan ia punya anak gadis bemama Karimah (yang kemudian disunting Sunan Ampel). Sesuai tradisi Jawa, orang tua kadang dipanggil dengan nama anak pertamanya.

Ki Wirosaroyo sering dipanggil dengan nama Pak Karimah, atau lebih populer lagi dengan sebutan Mbah Karimah. “Sesampai di Surabaya, Sunan Ampel lebih dulu membangun tempat ibadah di Kembang Kuning. Nama ini, konon berasal dari gebang kuning atau palm kuning yang waktu itu banyak ditemui di sekitar tempat tersebut. Tempat ibadah yang didirikan Sunan Ampel bersama Ki Wirosaroyo ini semula  berbentuk musholla kecil berukuran sekitar 12 x 12 meter dan sekilas mirip cungkup. Lantainya menyerupai siti inggil yang menurut kepercayaan sangat pas untuk munajat pada Allah.

Setelah itu, Sunan Ampel melanjutkan perjalanan dan membangun masjid di Ampel Dento yang keberadaannya terus bertahan sampai sekarang. Jika mampir di masjid yang terletak di Jl. Ampel Suci 45 atau Jl. Ampel Masjid 53 ini, kita masih bisa melihat menara setinggi 30 meter di dekat pintu masuk sisi selatan, sumur dan bedug kecil peninggalan Sang Sunan, serta 16 tiang setinggi 17 meter (lengkap dengan ukiran kaligrafi bertuliskan Ayat Kursi) yang menyangga atap masjid seluas 800 meter persegi.

“Sampai sekarang, Masjid Ampel relatif masih berdiri sesuai aslinya. Ini sangat berbeda dibanding Langgar Tiban di Kembang Kuning. Langgar ini sudah direnovasi total jadi Masjid Rahmat. Renovasi total ini karena takut akan ada pengkultusan yang dikhawatirkan mendekati sirik.

Ctra Masjid Ampel sangat lekat dengan hal mistis dan misterius. Termasuk cerita tentang Mbah Sholeh yang katanya memiliki sembilan nyawa. Ketika ia meninggal, sebagai penghormatan, Mbah Sholeh juga dimakamkan di kompleks makam Masjid Ampel lama sebelah utara. Di sini, kita bisa melihat sembilan batu nisan yang berjejer rapi, sebagai tanda bahwa Mbah Sholeh pemah hidup dan mati Sembilan kali. Di sisi barat masjid lama, ada makam Mbah Bolong yang pertama kali menentukan arah kiblat sekaligus acuan semua masjid di Pulau Jawa. Tak sampai 30 meter dari makam-makam ini, ada makam Sunan Ampel, berdampingan dengan isteri pertamanya, Dewi Condrowati, salah satu putri Raja Brawijaya.

No comments:

Post a Comment

Pages