Masih ingat dengan beberapa kecelakaan lalu lintas laut dan udara yang
terjadi pada tahun 2006 dan 2007 silam di kawasan Masalembo? Pada
tanggal 29 Desember 2006, kapal laut Senopati Nusantara yang mengangkut
628 orang diduga telah tenggelam dan menghilang di sekitar 24 mil laut
dari Pulau Mandalika, perairan Kepulauan Karimunjawa, Jepara, Jawa
Tengah.
Tiga hari kemudian, tepatnya di awal tahun baru 2007,
terjadilah tragedi Adam Air 574, yang menghilang dalam penerbangan
setelah transit di Surabaya menuju Manado. 8 bulan kemudian, pada
Agustus 2007, kotak hitam pesawat tersebut baru ditemukan di kedalaman
2000 meter.
Disusul pada bulan Juli oleh kecelakaan transportasi
laut KM Mutiara Indah yang tenggelam di perairan Masalembo pada tanggal
19 Juli 2007. Tujuh hari kemudian pada tanggal 27 Juli 2007 disusul
tenggelamnya KM Fajar Mas, juga di perairan Masalembo. Belum sebulan
setelah peristiwa itu, tenggelam lagi KM Sumber Awal di perairan yang
sama pada 16 Agustus 2007. Lalu dua tahun kemudian pada tahun 2009
dihari Minggu 11 Januari dini hari, ada juga musibah KM Teratai Prima
yang tenggelam di perairan yang sama.
Jika ditilik lebih lanjut,
kecelakaan tersebut mayoritas terjadi di bulan yang sama dan di lokasi
yang tak jauh berbeda. Jika di bulan Januari ataupun pertengahan tahun
seperti Juli diketahui sebagai bulan-bulan puncak peralihan atau
perubahan musim seantero Indonesia yang kepulauannya berada di sekitar
katulistiwa, lalu bagaimana dengan lokasi kecelakaan yang hampir pula
serupa. Ada apa dengan Pulau Masalembo dan sekitarnya?
Pulau
Masalembo merupakan sebuah pulau kecil yang berada di ujung Paparan
Sunda. Pulau-pulau kecil ini berada di daerah “pertigaan” laut yaitu
Laut Jawa yang horizontal dari barat ke timur dan Selat Makassar yang
memotong secara vertikal utara ke selatan. Pola kedalaman laut di
Segitiga Masalembo ini sangat jelas menunjukkan bentuk segitiga yang
nyaris sempurna berupa segitiga sama sisi.
Berangkat dari
tragedi-tragedi yang terjadi, wilayah yang terdiri dari beberapa pulau
tersebut kemudian dijuluki sebagai “Segitiga Masalembo” atau “The
Masalembo Triangle“.
Segitiga Masalembo terdiri dari Pulau Bawean
– Kota Majene – Kepulauan Tengah, di ketiga kawasan tersebut disinyalir
sebagai lokasi terjadinya arus laut dan angin yang mengalir akibat
adanya perbedaan tekanan dalam siklus harian ataupun tahunan (monsoon)
lalu keduanya bertemu menjadi satu mirip layaknya tornado, badai,
hurricane ataupun typhoon namun dalam putaran yang lambat tapi tiba-tiba
berpindah arah.
Seringkali daerah Segitiga Bermuda dihubungkan
dengan kondisi magnetisme. Namun dari beberapa peta yang menunjukkan
intesitas magnetik total, peta deklinasi, dan perubahan deklinasi
tahunan diketahui tidak adanya sesuatu yang mencolok baik di Segitiga
Bermuda maupun di Segitiga Masalembo.
Memang sejak dulu
seringkali yang menyatakan adanya keanehan kompas magnetik apabila
melalui daerah angker ini. Secara fisik (pengukuran magnetik) tidak
terlihat anomali itu.
Kalau dibandingkan dengan Segitiga Bermuda,
lokasi Segitiga Masalembo juga tidak menunjukkan keanehannya.
Sepertinya keangkeran segitiga Masalembo ini lebih ditentukan oleh
faktor gangguan alamiah yang bukan mistis.
Yang mungkin paling
dominan adalah faktor meteorologis faktor cuaca, termasuk didalamnya
angin, hujan, awan, kelembaban air dan suhu udara yang mungkin memang
merupakan manifestasi dari konfigurasi batuan serta kondisi geologi,
oceaografi serta geografi yang sangat unik. (VAL/Disarikan dari
Wikipedia, IndocropCircles dan berbagai sumber lainnya)
No comments:
Post a Comment