Makam Sunan yang bernama asli Raden Qosim ini berada di desa Drajat,
kecamatan Paciran, Lamongan. Berada sekitar 1 km sebelah selatan
pertigaan Drajat di Pantura (Pantai Utara) Lamongan, atau sekitar 29 km
sebelah utara pertigaan Sukodadi.
Saat memasuki kompleks makam Sunan Drajat, kita akan disambut dengan
bangunan yang sebagian besar terbuat dari kayu dan batuan yang tersusun
tanpa semen. Bangunan ini memang menjadi ciri khas makam yang dipugar
tahun 1992 tersbut. Berbeda dengan kompleks makam Sunan Ampel di
Surabaya dan Sunan Bonang di Tuban yang merupakan ayah dan saudara
kandung Sunan Drajat. Kompleks makam dua sunan tersebut tampak lebih
modern.
Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan Ampel, dan bersaudara dengan Sunan Bonang.
Ketika dewasa, Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran, Kabupaten Lamongan.
Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam beliau menyebarkan agama Islam di desa Drajat sebagai tanah perdikan di kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun saka 1442/1520 masehi
Pepohonan yang rindang menjadi peneduh di kompleks makam ini. Cukup membuat sejuk, mengingat daerah Drajat yang termasuk pesisir mempunyai cuaca yang panas. Dari gerbang masuk, kita akan melewati jalan setapak menuju ke makam Sunan Drajat. Di kiri kanan jalan setapak ini kita bisa melihat banyak makam lain dan di antara pepohonan.
Di sepanjang jalan menuju ke makam ini juga kita akan menaiki beberapa anak tangga. Di setiap tingkatan anak tangga tersebut, kita akan menemui tulisan satu demi satu dari tujuh filosofi ajaran Sunan Drajat dalam menyebarkan Islam.
Ketujuh filosofi itu adalah:
Memangun resep tyasing sasomo (Kita harus selalu membuat senag hati orang lain).
Jroning suka kudu eling lan waspada (Dalam suasana riang, kita harus ingat dan waspada).
Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (Dalam perjalanan mencapai cita-cita luhur, kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan).
Meper hardaning pancadriya (Kita harus selalu menekan gelora hawa nafsu).
Heneng-hening-henung (Dalam keadaan diam, kita akan memperoleh keheningan dan dalam hening itulah kita akan mencapai cita-cita luhur).
Mulya guna panca waktu (Suatu kebahagiaan lahir batin akan kita capai dengan sholat lima waktu).
Menehana teken marang wong kang wuta, Menehana mangan marang wong kang luwe, Menehana busana marang wong kang weda, Menehana ngiyop marang wong kang kodanan.
Sunan Drajat menyiarkan agama Islam lewat
tembang-tembang macapat yang berbentuk pangkur. Masyarakat yang dulunya
memiliki kepercayaan animisme-dinamisme ‘tersihir’ dengan nada-nada
pangkur yang berisi kandungan Al-Qur’an yang dibawakan olehnya.
Sunan Drajat juga dikenal dengan tutur katanya yang menyejukkan. Oleh
karena itu, ia mendapat julukan Sunan Mayang Madu dari Raden Patah,
sultan Kerajaan Demak. “Mayang berati kembang (bunga) dan madu
berarti mengobati. Ini sebagai ungkapan yang menggambarkan setiap tutur
beliau yang menyejukkan,” ucap Pak Edi, juru kunci makam Sunan Drajat.
Sunan Drajat menggunakan media gamelan untuk iringan tembang
mocopatnya. Dan gamelan-gamelan tersebut masih tersimpan di dalam museum
yang letaknya di sebelah timur makam. Selain gamelan, di dalam museum
juga terdapat kitab-kitab yang dulunya milik Sunan Drajat, juga keramik
dalam bentuk piring, mangkuk, sendok, dan lain-lain. Selain barang
tersebut, masih banyak peninggalan Sunan Drajat lainnya di museum ini.
No comments:
Post a Comment