Kerapan Sapi Pulau Madura


Keunikan kerapan sapi merupakan hal utama yang menarik bagi sebagian besar wisatawan saat datang ke Pulau Madura. Perayaan kerapan sapi ini tidak dapat Anda temukan di daerah lain di Indonesia dan bahkan dunia. Kemeriahan tradisi ini begitu terasa saat perlombaan diiringi musik gamelan tradisional saronen juga teriakan penonton yang menyemangati sapi saat berpacu dengan kencangnya.

Kerapan sapi adalah perlombaan pacuan sepasang sapi dikendarai oleh seorang joki yang disebut tukang tongko. Tukang tongko tersebut berdiri di atas kaleles yang ditarik oleh sapi. Jokinya berdiri mengendalikan pasangan sapi dalam kecepatan tinggi di jalur pacuannya berjarak 100 meter dalam waktu 10 detik sampai 1 menit.

Kerapan bukanlah sekadar pertandingan pacuan sapi biasa. Di dalamnya terlibat tim pengatur termasuk taktik dan strategi pesertanya. Pelakunya adalah: tukang tongko adalah joki yang mengendalikan sapi pacuan; tukang tambeng yang menahan kekang sapi sebelum dilepas; tukang gettak yang menggertak sapi agar pada saat diberi aba-aba sapi itu berlari kencang lurus ke depan; tukang tonja yang bertugas menarik dan menuntun sapi agar patuh pada pelatihnya; tukang gubra yaitu anggota rombongan yang bertugas bersorak-sorak untuk memberi semangat pada sapinya dari tepi lapangan dan tidak boleh memasuki lapangan.

Sebelum dimulai, sapi berpasangan tersebut akan diarak mengelilingi arena pacuan diiringi gamelan madura (saronen). Saronen merupakan musik dan tarian pengiring kerapan sapi sebelum terjun ke medan laga. Suaranya didominasi terompet dan tabuhan gong bertalu-talu yang dimainkan sekelompok pria berpakaian warna-warni khas Madura.



Semua sapi kerapan akan diarak memasuki lapangan sebelum berlomba, sapi-sapi itu berparade agar
 dikenal penonton sambil memamerkan pakaian, hiasan, dan gantungan-gantungan genta di lehernya. Setelah parade selesai, pakaian dan hiasan pun dibuka, hanya asesoris yang tidak mengganggu gerak saja yang masih dibiarkan melekat.

Sapi jantan yang dilombakan tersebut sebelumnya diberi minum arak lalu dilepaskan ke dalam arena perlombaan hingga berpaculah dengan kencangnya dikemudikan tukang tongko. Waktu tercepat yang pernah tercatat adalah 9 detik menempuh jarak lebih dari 100 meter. Sapi-sapi yang dilombakan adalah sapi-sapi pilihan yang harganya cukup mahal bahkan ada yang mencapai ratusan juta rupiah.

Kerapan sapi diselenggarakan di berbagai wilayah di Madura sekitar akhir bulan Juli sampai Oktober. Perlombaan ini mulai dari tingkat kecamatan dan kabupaten hingga puncaknya adalah Kerapan Sapi Akbar atau Gubeng pada akhir September atau Oktober di Pamekasan untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden. Pada saat finalnya, lomba ini melibatkan sampai 100 sapi yang dihiasi pita dan bunga-bunga dan kemudian berparade di dalam kota.

Saat perlombaan berlangsung maka akan terbagi menjadi beberapa babak. Babak pertama adalah penentuan kelompok menang dan kelompok kalah. Babak kedua adalah penentuan juara kelompok kalah. Kemudian babak ketiga adalah penentuan juara kelompok menang. Piala Bergilir Presiden hanya diberikan pada juara kelompok menang.


Asal mula kerapan sapi menurut cerita rakyat Madura dimulai oleh seorang ulama penyebar agama Islam bernama Syech Ahmad Baidawi yang dikenal dengan sebutan Pangeran Katandur yaitu putra Pangeran Pakaos, cucu Sunan Kudus. Selain menyebarkan agama Islam, Pangeran Katandur juga ahli bercocok tanam dengan mengajarkan penduduk setempat cara membajak tanah yang disebut nanggala atau salaga yaitu menggunakan 2 bambu yang ditarik 2 ekor sapi. Kemudian lambat laun banyaknya petani yang menggunakan tenaga sapi untuk menggarap sawahnya sehingga secara bersamaan timbullah niat untuk saling berlomba dalam menyelesaikannya. Akhirnya, perlombaan untuk menggarap sawah itu menjadi semacam olah raga lomba adu cepat yang disebut kerapan sapi.

No comments:

Post a Comment

Pages